
Sebelum menjabat sebagai Kepala Bapas Surakarta, ia bertugas di Bapas Pati sekitar satu tahun. Pria kelahiran Pagaruyung, Sumatra Barat, 5 April 1968 ini ingin merubah anggapan masyarakat tentang orang yang keluar dari Rutan adalah pelaku kejahatan dan harus dihindari.
“Bapas adalah lembaga yang membina seseorang yang sedang dalam masa bebas bersyarat sehingga perlu bimbingan dalam masa reintegrasi sosial. Jadi, orang itu dapat kembali ke lingkungan dengan baik dan tidak mengulangi tindak kejahatan,” paparnya saat ditemui Espos di Kantor Bapas, Kamis (30/6/2011).
Bapas juga bertugas memberikan keterampilan dan bimbingan rohani. Dalam menjalankan pekerjaannya, ia selalu berupaya membimbing seseorang yang sedang bebas bersyarat atau biasa disebut klien agar diterima masyarakat dan mampu mandiri.
Saat ini, yang menjadi kendala saat ia membina anak didiknya yakni berkaitan dengan birokrasi atau lembaga pemerintah. Ia merasa kecewa, walaupun ia aktif mengajak bekerja sama dengan lembaga pemerintah untuk pelatihan anak didiknya, terkadang ia harus menerima penolakan.
“Kami disini juga membimbing masyarakat. Walaupun mereka adalah mantan pelaku kejahatan, sebenarnya mereka juga memiliki hak yang sama di masyarakat. Ini adalah tanggung jawab bersama, mulai dari pemerintah, lembaga serta masyarakat,” ungkap laki-laki dengan dua anak ini.
Ia berharap ada kepedulian pemerintah terhadap hak untuk anak didiknya agar mereka bisa diterima kembali di masyarakat. Ia juga merasa prihatin karena sulit menghilangkan stigma negatif pada klien Bapas terutama anak-anak yang mampu memengaruhi psikologis anak. Padahal, anak yang melakukan kejahatan sebenarnya ia belum mengerti mengapa melakukan hal itu. Ada faktor di balik itu yang seharusnya bisa diperhatikan oleh masyarakat.
Terkadang, lanjut dia, orang-orang yang terkait dengan hukum seperti mahasiswa fakultas hukum dan pegawai di bidang hukum pun kurang mengetahui tentang pentingnya penegakan hukum secara adil. Hal itulah yang kini ia galakkan dengan cara memberikan sosialisasi tentang keadilan di dalam hukum.
Ia yang bertugas membawahi tujuh kabupaten/kota di Soloraya dengan 500 anak binaannya masih bingung menentukan formula untuk mengatasi jumlah klien yang cenderung naik. Saat ini ia hanya memiliki satu harapan yakni dapat mewujudkan Indonesia lebih baik dengan orang yang taat hukum dan kehidupan lebih sejahtera.
(Ayu Abriyani KP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.